Merelakan Masa Lalu
Aku tak tau bagaimana awal mula kita menjadi teman.
Aku tak tau bagaimana harus memulai percakapan ini.
Aku tak tau bagaimana asal mula adanya kerinduan ini.
Hai...
Kau adalah sosok yang sering aku ceritakan pada sahabat-sahabatku.
Kau adalah sosok seorang yang aku banggakan kepada orang lain.
Dan kaulah sosok seorang yang aku sangat cintai.
Sadarkah kau, selama ini aku menunggumu? Selama kita menjalankan pertemanan dan sekarang aku mempunyai perasaan kepadamu.
Haruskah aku yang memulai ini semua, agar kau sadar?
Hai....
Aku tak mungkin menyimpannya selama awal kita kenal.
Mungkin kau tak percaya dan pastinya kau kaget mendengarkan suara perasaanku yang ada.
Tetapi...
Inilah kenyataannya.
Walaupun kau terlihat egois, sedangkan aku selalu kekeh dengan perasaan ini.
Aku seorang perempuan yang keras kepala dan penuh dengan harapan.
Setiap detik, menit, jam.
Sampai hari berganti bulan dan akan menjadi tahun.
Aku selalu menunggumu, hingga kita benar-benar berpisah dengan status pertemanan yang telah usai.
Ya....
Mungkin aku harus jujur kepadamu.
Aku tak tahan lagi berjuang yang selalu bertepuk sebelah tangan.
Dan sahabat-sahabatku selalu menuntut aku untuk menyatakannya terlebih dahulu, agar aku tak sebodoh menunggu selama ini.
Benar, apa kata mereka.
Kalau aku sungguh bodoh, untuk membodohi diriku sendiri.
Hingga akhirnya aku memutuskan memulainya terlebih dahulu.
Aku memilih jujur,
Jujur untuk pertama kalinya tentang perasaanku padanya.
Dan kau hanya bisa berkata 'Selama ini kita hanya sebatas teman. Dan aku tidak mengerti apa yang dimaksud olehmu.'
Kau tau jika aku menyukaimu, jika aku menunggumu sekian lamanya dan jika aku mencintaimu.
Kenapa kau pura-pura bodoh selama ini, kenapa kau selalu memperlakukan aku sebagai wanita sempurna di hadapan teman-temanmu.
Bagaimana dengan kebahagiaanku? Apakah itu tidak penting untukmu?
Apakah aku yang terlalu berharap?
Apakah aku yang terlalu bodoh?
Atau kau hanya bisa menganggapku sebagai sahabatmu sendiri.?
Semua pertanyaan itu selalu terbayang-bayang ketika melihatmu bahagia bersama orang lain.
Seperti kopi yang tidak pernah menyembunyikan kebohongan, dia tetap jujur dengan pahitnya, dia tetap hitam bersama uapnya.
Aku tau dan aku sangat tau resiko akan kejujuran yang aku ambil.
Ini dia resikonya, dan itu kenyataannya.
Jika kau hanya menerimaku sebagai sahabatmu sendiri.
Tetapi kenapa kau ?
Logika ini terlanjur kecewa terhadapmu, hanya saja hati ini yang masih menyimpan hal yang sama.
Setidaknya kau tidak menjauhiku,
Aku ingin berteman dan bersahabat denganmu.
Mungkinkah kau tak bisa lagi ?
Maafkan aku, aku tau jika kejujuran ini akan membawa dampak yang buruk untukku dan untukmu.
Jika pergi adalah jalan pintas yang kau ambil untuk memperbaiki hubungan ini, semoga bahagiaku kelak adalah sesuatu yang kau kenang dengan luka.
Terima kasih atas luka ini,
Terima kasih atas perihal rindu ini.
Terima kasih kau sudah membuatku untuk sadar akan pentingnya menunggu tanpa kepastian.
Lebih baik menunggu orang yang tepat..
Walaupun, sepi dan perih sebagai teman yang senantiasa menemani hari.
Karena, lebih sia-sia hidup yang singkat ini untuk di lewatkan bersama orang yang salah.
Aku tak mungkin mengulangi hal yang sama seperti ini.
Jika kau jodohku di masa depan sana, itu mungkin akan terjadi atau mungkin tidak sama sekali.
Aku hanya ingin kau bertemu dengan perempuan yang lebih baik dari aku ini.
Aku bukanlah wanita yang punya banyak alasan untuk di cintai..
Selain, cintai aku karena Allah...
Dariku yang siap membuka hatiku kembali.
-End-
Comments
Post a Comment